“ibu, ayah. Nyatanya selalu disanjung tinggi juga tidak menyenangkan”
Kisah ini hanya berkisah tentang si Tunggal, rubah putih kecil yang tidak terlihat. Tunggal lahir dari keinginan besar sepasang makhluk ciptaan Tuhan yang mendambakan bukti kasih. Bukti kasih yang di pikir akan menjadi jalinan ketentraman hati dan penjalin kehidupan sejati.
Tunggal lahir dalam lingkup keluarga yang kecil. Hanya sepasang orang tua yang syukur nya lengkap dan dia seorang.
-kesepian?- belum terlintas dan terukir kata itu dalam hidup nya kala itu.
Hidup dikelilingi ocehan
“kamu gampang tinggal minta aja, pasti di iyain”
“ah, enak banget kamu gak perlu berbagi”
“kamu itu ga bisa ya gak manja dikit?”
“enak nya jadi kamu!”
Tunggal sudah terbiasa hidup dilayani sampai lupa bagaimana caranya berdiri diatas kaki sendiri.
Tunggal terbiasa berada di puncak, sampai lupa bagaimana cara nya bernafas saat berada di bawah.
-nyata nya hidup itu bagaikan bianglala, indah nya atmosfer saat berada di posisi paling atas membutakan hati dan pikiran walau hanya sekejap, menampik bahwa atmosfer dan kesenangan saat berada di bawah akan berhenti lebih lama dan terasa lebih menyesakkan-
Tunggal tumbuh menjadi anak yang penuh kebahagian. Menjadi tuli dengan penilaian orang sekitar menjadi sebuah kebiasaan baru untuk dilakukan. Asal dapat mencapai angka yang diminta berarti Tunggal berhasil. Asal selalu menuruti perintah berarti Tunggal menjadi anak yang berbakti. Hidup nya sudah teratur, lebih tepat nya di atur sedari kecil. Tunggal kecil tumbuh dengan memegang pedoman
-apa yang dikatakan ibu dan ayah selalu benar-
“lakukan saja apa yang kamu mau”
“jangan terlalu dekat dengan orang baru, kamu ga tau dia baik atau nggak”
“kamu jam 8 harus sudah masuk kamar, ga ada nonton tv atau main hp”
Rentetan kalimat dari huruf a sampai z sudah Tunggal telan bulat-bulat, setiap kata bagaikan sudah terukir di hati dan pikirannya.
Tunggal bahagia?
Jawabannya iya, sampai saat itu.
Tunggal tumbuh dengan fisik dan penampilan selayaknya remaja biasa pada umumnya. Dia tumbuh menjadi “bukti kasih” yang penurut, tidak banyak menuntut, jarang menangis dan pandai mengatur emosi.
-tunggu, pandai mengatur emosi? Aku?-
Saat itu awal semester 1, kala Tunggal baru menduduki bangku kelas 10 SMA.
Tunggal yang punya mimpi setinggi langit tiba-tiba dihantam dengan kenyataan bahwa tuhan tidak merestui langkah nya menuju hari dewasa dengan mudah. Hidup nya yang penuh tawa dan lurus mulai hancur.
“berawal dari mana?”
-Terlalu banyak celah yang ada-
Tunggal memang terbiasa hidup dengan “derajat nilai”, Tunggal memang terbiasa menutup telinga mendengar komentar dari orang lain, Tunggal memang terbiasa mendengarkan, dan Tunggal memang terbiasa diatur. Tapi saat semua nya sudah berada pada tahap “kamu HARUS”, nyata nya tunggal tetap tidak bisa mempertahankan kata “terbiasa” lagi.
Ini salah, aku salah? Dari mana? Tunggal, kamu kenapa?
Sampai saat itu Tunggal mulai sering bertanya, Tunggal sering berbohong, Tunggal tidak hanya mendengarkan orang berbicara, kini Tunggal lah yang berbicara. -diterima? Nyata nya tidak-
Bukan hanya Tunggal yang terbiasa, nyata ya orang sekitar juga lebih terbiasa dengan “Tunggal yang dulu”.
“berani menjawab!”
“kamu berani berbohong sekarang?!”
“plin-plan banget sih!”
“kamu itu gak paham apa arti TEMAN!”
Tunggal terlalu meninggi. Tunggal kira dia benar, Tunggal kira dia disayangi, Tunggal kira dia dikasihi. Nyatanya Tunggal selama ini sendiri.
-iya, aku hidup dengan menuruti semua hal yang diminta, nilai ku bagus, teman ku pun bagus, apa yang kurang dariku? Itu pertanyaan semua orang yang belum mengenal diriku. Saat sudah mengenal ku mereka selalu berkata “si Tunggal itu tidak punya pendirian, selalu gagu saat di tanya pendapat nya, dia terlalu pemurung dan pemalu untuk di ajak bicara, dia egois sebagai teman, anak yang hanya berdiam diri dirumah mana tau dengan dunia luar”. Ibu, ayah. Nyatanya selalu di sanjung tinggi juga tidak menyenangkan- Tunggal.
Tunggal si rubah kecil ini akhirnya hanya sering berdebat dengan diri nya sendiri, bergelung dengan banyak nya suara dan bayangan yang selalu memojokkan nya setiap hari.
-apa salah ku? Sebenarnya aku salah dari mana?-
Nyata nya Tunggal salah paham. Bukan dia yang disanjung, tapi nilai nya lah yang disanjung, bukan dia yang menarik perhatian, tapi Tunggal lah yang mencari perhatian, bukan Tunggal yang dipuji melainkan Tunggal mencari cara agar dipuji dan berhasil. Tanpa sadar semua nya Tunggal lakukan dengan pundak yang amat berat. Tunggal terlalu sering menunduk sampai mendambakan punggung nya tegap dan menatap lurus ke depan.
-bahagia?-
Nyatanya Tunggal sedih. Tunggal sedih hidup sendiri, Tunggal sedih berjalan menapaki jalan seorang diri, Tunggal sedih selalu dipaksa mendengarkan tanpa boleh bicara, Tunggal sedih waktu nya terbuang dengan selalu menurut tanpa berhasil untuk berontak, Tunggal sedih dengan teman nya yang hilang satu persatu dan Tunggal sedih menjadi tembok harapan tinggi orang tuanya (sang sepasang kekasih yang mengharapkan “bukti kasih”).
Bulu nya kini sudah tidak seputih salju, nyata nya kini hanya segelap debu jalanan. Yang tadinya secerah Sinar rembulan kini hanya menjadi segelap bayangan malam.
Inilah kisah si Tunggal, rubah putih kecil yang tidak terlihat.
-jadi ini arti hidupku- Tunggal.
Dari mata sang penglihat, sang bintang kecil di ujung langit yang gelap.